Senin, 12 Agustus 2013

selayang pandang kota Rabat

Gersang, panas, berdebu. Mungkin itu kesan pertama kali  yang terbayang ketika kita mendeskrifsikan tanah Arab. Tentunya hal ini akan jauh berbeda dari apa yang kita bayangkan akan salah satu negara yang ada di barat laut  Afrika, Maroko. Negara yang mengarah ke laut Atlantik,  diujung utara bersebrangan dengan laut Mediterania.

Negri seribu benteng, nergi matahari terbenam, negri tanah tuhan, itulah berbagai julukan untuk nergi Morocco. Morocco disebut juga Al Magrib mengacu pada sejarah awal penyebaran islam, bahwa Magrib mencakup Tunis, Libia, Algeria, dan Morocco yang disebut dengan Al magrib Al Aqso. Hingga saat ini Morocco disebut dengan “Al Mamlaka Al Magribiya”.

Orang-orang Persia dan Urdu menyebut Maroko dengan sebutan  Marrakesh yang berasal dari bahasa barbar “ Mur dan Akush” yang berarti tanah tuhan.  Marrakesh menjadi ibu kota dinasty Al murabitun pada tahun 1062-1157 M.  Orang Turkey menyebut Fez, dimana merupakan kota pertama kali dibangun oleh Mohammad Idris yang kemudian disanalah berdiri dinasty  Idrisiyah sebagai pusat pemerintaha dinasty Idrisiyah. 

Maroko begitulah orang Indonesia menyebutnya. Yah, hampir mirip dengan Merauke. Tak dapat dipungkiri, terdapat beberpa kesamaan antara negara Maroko dengan Indonesia, hal ini sangat erat kaitannya dengan proses masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-9,  tak lepas dari campur tangan ulama-ulama Maroko. 



Rabat; ibu kota negri seribu benteng

“Nuansa Andalus”. Begitulah kesan pertama ketika seseorang bertanya kepada saya tentang ibu kota negeri seribu benteng ini. Rabat memiliki keeksotisan tersendiri, tanah yang subur yang menumbuhkan pepohonan rindang dan aneka bunga-bunga mempesona ketika musim semi, air mancur dengan arsitek Moorish disetiap pusat-pusat kota memberikan kesan lebih hidup.  Tatanan kota yang rapih, indah dan bersih membuat nyaman ketika berjalan di sepanjang kota.

Disamping keindahan kota yang membedakan Maroko dengan kota-kota ditanah arab lainnya, Rabat menyimpan berbagai nilai sejarah yang tak pudar oleh masa.
Tanah subur, dengan bentangan sungai Bouregreg yang selalu mengalir tiap tahun, nuansa hijau pepohonan kurma menjulang tinggi ke angkasa, membentang diparu-paru ibu kota, taman-taman dengan aneka bunga memusim , hijau rerumputan, air mancur dengan arsitek morish yang mengingatkan kita pada dinasty-dinasty yang pernah ada di negri seribu benteng ini.

Semilir angin samudra Atlantik, desiran ombak yang membaur bersama buih, kemegahan benteng Oudaya, serta udara yang stabil dengan suhu yang standar disetiap musimnya, selain itu Rabat menyuguhkan wisata sejarah dan peradaban yang menakjubkan. Benteng-benteng berwarna coklat kemerahan terpampang di sepanjang kota, memanja para turis lokal maupun mancanegara menikmati keindahan alam serta keeksotikan masa-masa epik kegemilangan Islam pada dianasty  Murabitun, Muwahidun, Alawiyin dan Mariniin.

Rabat dibangun pada masa dinasty Murabitun dibawah kekuasaan khalifah Abdul Mu’min tahun 1146 M, dengan nama “ Ribatu al fath” yang berarti benteng-benteng. Kemudian diperluas oleh Yaqub Al Mansur, khalifah dinasty  Muwahiddun. Pada tahun 1956 M,  setelah lepas dari jajahan  Francis, raja Mohammad V meresmikan Rabat sebagai ibu kota Negara setelah Maroko merdeka. 

Keindahan ibu kota negri senja ini begitu terasa ketika berada di pusat kota. Tepat di depan parlemen, ada taman yang dihimpit oleh kedua jalan, di sana orang-orang menikmati pohon-pohon kurma yang  menjulang tinggi, rerumputan hijau layaknya padi-padi di pematang sawah yang baru ditanam, aneka warna mahkota bunga yang merekah disepanjang kanan kiri jalan menyaingi kecantikan gadis-gadis Maroko. Taman kota sepanjang parlemen diampit oleh air mancur dari ujung selatan dan utara yang kental dengan khas Moorish.

Duduk di sini serasa berada di depan taman istanaAl hamra di Granada. Di tambah, taman akan lebih semarak oleh burung-burung dara yang tak pernah sepi mewarnai jantung kota.

Uniknya di Maroko, setiap kota dibagi dua kawasan, yang pertama ville nouvelle terlihat dari tatanan kota lebih modern,  Rabat ville dibangun oleh Marshal Lyaute dan dua orang asrsiek Prost dan Ecochard dengan gaya Arsitekur Hispano-Maghrebi, ini bisa dijumpai dari bangunan-bangunan disekitar taman jantung kota. Sepanjang jalan Mohammad V mulai dari Madinah Qadimah sampai  Masjid Sunah merupakan pusat ibu kota, di samping kanan kiri jalan yang menghampit taman, terdapat gedung-gedung kuno warna kuning kemerahan dengan arsitektur yang antik. Diantaranya bank Magrib, Musee de la monnale ( coin museum), Mesjid Sunnah, Parlemen, hotel-hotel serta café mewah disepanjang jalan.

Tak jauh dari avenue Mohammad V, ada  Rue Abou Inan, disitu akan kita temui sebuah gereja yang sangat megah yang dibangun pada tahun 1930M, dengan gaya arsitektur Hispano, dan nuansa warna putih membalut Cathedral Saint- Pierre.(gambar diatas)

Kawasan selanjutnya  disebut dengan “Madinah Qodimah ” yang berarti kota lama, identik dengan bangunan kuno dan arsitektur klasik khas dynasty Muwahidin dan Alawiyin. Ini bisa dilihat dari bangunan- bangunan yang yang ada setelah bank Magrib menuju pasar madinah atau pasar tardisional Maroko yang dikelilingi dengan benteng-benteng Andalusia.


Setiap benteng yang mengeliligi kota rabat dipisahkan dengan pintu-pintu. Ada yang disebut dengan bab Al Ahad, pintu masuk menuju pasar tradisional, kemudian bab ruwah yang menuju ke royal palace / istana raja dan Mesjid Sunnah. Di bab ruwah terdapat museum gallery yang dibuka untuk umum pada waktu-waktu tertentu.

Tidak ada komentar: